Sabtu, 27 Desember 2008

Adakah Hari Esok Bagimu?

Bertobatlah setiap hari, kita tidak tahu apakah hari esok masih ada bagi kita - Rabi Eliezer

Di dalam Literatur para rabi Yahudi, seorang Rabi yang bernama Eliezer mengajarkan, "Bertobatlah satu hari sebelum kematian Anda". Para muridnya bertanya, "Tetapi bagaimanakah manusia tahu di hari apa ia akan mati?" Rabi yang bijaksana itu menjawab, "Karena itu, Anda harus bertobat hari ini. Mungkin hari esok Anda akan mati. Dengan demikian manusia harusnya bertobat setiap hari!"
Bukankah ini satu fakta kehidupan? Kita tidak tahu kapan pengembaraan kita di dunia ini akan berakhir. Hari esok belum tentu menjadi milik kita.
Di zaman ini nyawa seolah-olah sudah tidak punya harga lagi. Untuk alasan sepele manusia akan saling membunuh. Kita tidak tahu kapan ajal akan menjemput kita. Baru-baru ini di daerah Ancol, Jakarta, hanya gara-gara suara gemuruh knalpot sepeda motor, seorang pemuda bernama Sunarto dikeroyok hingga tewas. Karena merasa terusik dengan suara bising sepeda motor korban, seorang bapak yang sedang bersantai di depan rumahnya langsung mengambil sebatang galah dan menghadang sepeda motor yang berisik itu. Persoalan sepele inilah yang memicu percekcokan yang akhirnya meragut nyawa pemuda yang baru berumur 27 tahun ini.
Saya pasti Sunarto sama sekali tidak menyangka bahwa tanggal 1 April 2006 merupakan hari terakhir baginya di dunia ini. Pada malam minggu itu ia hanya mau mengunjungi bibiknya yang rumahnya tidak jauh dari kontrakannya. Sama sekali tidak diduganya bahwa itu akan merupakan kunjungannya yang terakhir.
Di pertengahan Februari yang lalu, diberitakan di koran tentang seorang janda tua yang dibunuh oleh cucunya sendiri saat ia sedang tidur pulas. Dengan kejam cucunya mengorok leher korban hanya gara-gara cucunya kesal karena dimarahi setelah kedapatan mencuri rokok di kios. Beberapa hari yang lalu juga diberitakan di New York Times, tentang seorang anak yang membunuh ibunya hanya karena keadaan rumah yang berantakan dan tidak terawat!
Membaca tentang tragedi demi tragedi yang berlangsung setiap hari di setiap belahan dunia; apakah korban pembunuhan, kecelakaan lalu lintas atau perampokan, kita semakin diyakinkan bahwa sesungguhnya tidak ada pengharapan di dunia yang fana ini. Begitu murah dan tidak berarti nyawa seorang manusia. Jikalau kita hidup hanya untuk dunia ini maka kita menjadi orang yang paling patut dikasihani.
Menurut rasul Yakobus, kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Dalam surat yang ditulisnya kepada bangsa Israel yang berada di perantauan, ia bertanya, "Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap."
Marilah kita hidup dengan membuat persiapan bagi hari esok yang kekal. Renungkanlah hikmat seorang Rabi Eliezer, bertobatlah setiap hari, kita tidak tahu apakah hari esok masih ada bagi kita. Sebaliknya kita harus berkata, "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu."
(dikutip dari sumber internet)

Natal, Musim untuk Berbuat Baik?

Persoalan yang muncul adalah apakah bijaksana untuk selalu berbuat baik? Bagaimana jikalau kebaikan kita malah menuai kerugian bagi diri kita sendiri? Tetapkah kita akan berbuat baik?

Sepanjang tahun kita begitu sibuk dengan kehidupan kita dan tanpa disadari kita sudah tiba di penghujung tahun 2008. Bagi yang religius bulan Desember seringkali membuat kita berhenti sejenak dan memikir kembali tentang persoalan-persoalan yang sesungguhnya penting dalam kehidupan kita. Utamanya, di hari-hari menjelang Natal, di gereja, di website atau kartu-kartu Natal yang kita terima mengingatkan kita untuk mengasihi, memberi dan menjadi saluran berkat kepada sesama.
Mengasihi, memberi dan memberkati sesama manusia memang merupakan hal yang mulia dan terpuji. Yang memberi, merasa puas dan senang karena telah menjadi saluran berkat, apa tah lagi, jika yang menerima menunjukkan rasa terima kasih dan menghargai pemberian kita.
Setiap orang Kristen bahkan anak-anak sekolah Minggu pasti mengetahui kisah orang Samaria yang baik hati. Orang Samaria yang baik hati ini merupakan contoh unggul untuk kita teladani. Membaca perumpamaan itu di dalam Injil membuat kita begitu kagum dengan orang Samaria itu dan menginspirasi kita untuk berbuat hal yang sama. Tetapi sayangnya, tidak diberitahukan kepada kita apakah orang Yahudi yang dibantunya menghargai apa yang dilakukan oleh orang Samaria itu.
Terkadang saya berpikir, apakah mungkin korban kejahatan yang dibantu orang Samaria itu tergolong umat Yahudi fanatik yang sama sekali tidak mau berhubungan dengan orang Samaria. Jika memang ia tergolong orang yang demikian, apakah ia akan berterima kasih atau, malah ia akan merasa marah karena telah "dicemari" oleh orang Samaria itu. Bisa saja ia bereaksi keras dan merasa jengkel dengan orang Samaria itu karena telah membuatnya najis! Nah, jikalau perbuatan baik kita menuai kemarahan orang lain, apakah kita masih akan berbuat baik?
Baru-baru ini di Jakarta saya mendengar cerita tentang Bapak J yang sedang mengendarai mobilnya dan pas di depannya seorang pengendara sepeda mobil jatuh dan terlempar karena motornya disenggol bis yang melaju. Seperti yang sering terjadi, sopir bis kota itu tidak mungkin mau bertanggung jawab dan dengan secepat mungkin ia melarikan bisnya. Bapak J, yang berumur sekitar 60 tahun langsung keluar dari mobilnya untuk membantu korban yang jatuh itu.
Korban kecelakaan itu hanya mengalami luka ringan tetapi sepeda motornya sedikit rusak dan ada bagian yang harus diganti dan diperbaiki. Di bagian motor yang disenggol bis terlihat dengan jelas bekas cat dari bis itu. Hal yang mengagetkan adalah korban itu langsung menuntut pertanggung-jawaban Bapak J - orang yang berbaik hati yang mau membantu, akhirnya dituduh sebagai pengemudi yang menabraknya! Karena ngotot menuntut gantirugi, polisi akhirnya dipanggil dan keduanya harus berurusan di kantor polisi. Sekalipun Bapak J sudah menjelaskan bahwa mobilnya berwarna merah dan dari bekas cat di bagian motor yang tergores itu adalah jelas bahwa kenderaan yang menabraknya bukanlah yang berwarna merah. Tambahan pula di bagian mobil sama sekali tidak ada bekas goresan. Mungkin karena penampilan Pak J termasuk orang yang berpunya, bahkan polisi berpihak kepada pengendara sepeda motor yang terang-terang sedang berbohong itu. Pak polisi menggertak bahwa jika Pak J tidak mau membayar ganti rugi maka BPKB mobilnya akan disita.
Akhirnya, karena tidak mau urusan berpanjangan, Pak J setuju untuk membayar ganti rugi. Sepeda motor dibawa ke bengkel. Si pengendara sepeda motor meminta bagian-bagian yang rusak diganti dengan yang paling mahal dan meminta perawatan yang terbaik bagi bagian yang rusak itu. Setelah itu diminta lagi biaya perobatan, walaupun lukanya agak ringan. Pak J akhirnya harus mengeluarkan biaya sekitar Rp1.5 juta gara-gara karena ia punya niat baik mau membantu.
Setelah menceritakan kisah ini kepada teman-teman, Pak J ditanya, "Apakah Bapak akan berhenti lagi jika menemukan korban tabrak lari?"
Jawabnya, "Ya pasti."
"What? Mengapa?"
"Karena itu merupakan hal yang benar untuk dilakukan."
Saya kira Bapak J merupakan jenis manusia langka di planet Bumi ini!
Begitu juga dengan orang baik Samaria di dalam perumpamaan yang diberikan Yesus itu. Tidak lazim menemukan orang yang mau membantu jikalau dalam memberi bantuan kita harus menanggung kerugian, belum lagi harus mempertaruhkan nyawa kita. Orang Levi dan ahli Taurat, yang dapat disejajarkan di masa kini, bukan saja sebagai orang percaya tetapi pekerja full time di gereja, pada akhirnya memutuskan untuk tidak membantu, bukan karena mereka tidak punya kasih. Saya yakin mereka juga memberitakan pesan kasih di dalam pengajaran mereka, tetapi mereka khawatir harus menanggung resiko jika berhenti dan membantu orang yang luka itu. Jalan melintasi pergunungan ke Yeriko itu memang terkenal sebagai tempat mangkal para penyamun. Belum lagi, jika orang yang luka itu mati, bisa-bisa saja mereka lebih direpotkan. Bisa saja mereka terlambat untuk pelayanan di gereja/bait Allah. Memanglah wajar setelah mempertimbangkan faktor-faktor tertentu, mereka tidak berhenti untuk membantu.
Rata-rata manusia memang punya kasih dan mau membantu. Persoalannya adalah sejauh mana?
Sayangnya, perintah Tuhan bagi umat-Nya bukanlah sekadar "Kasihilah sesama manusia". Jika hanya masalah mengasihi, kita semua dapat melakukannya. Memberi uang Rp1000 ke pengemis sudah mengasihi. Sekali-kali memberi sumbangan ke panti asuhan sudah mengasihi. Tetapi yang membuat kita tidak habis pikir adalah Tuhan bukan saja berkata, "Kasihilah sesama manusia", tetapi Ia menambah tiga kata lagi, "seperti dirimu sendiri."
Dalam hal mengasihi diri kita sendiri, kita tidak pernah takut repot. Kita tidak pernah khawatir kita akan rugi. Kita mengasihi diri kita sampai kita berani mempertaruhkan segalanya. Diri kita sendiri bukanlah orang yang menyenangkan untuk dikasihi, tetapi tetap saja kita sangat mengasihi diri kita. Dan dengan cara inilah Tuhan mau kita mengasihi sesama - sebagaimana kita mengasihi diri kita sendiri - tanpa syarat, tanpa pamrih dan tanpa menghitung untung rugi.
Itulah juga caranya bagaimana Yesus telah mengasihi kita, dari 2000 tahun yang lalu sampai ke hari ini. Ia tidak pernah lelah melakukannya - demikian jugalah kehendak-Nya bagi kita.
(dikutip oleh agus melalui sumber internet)

Sabtu, 06 Desember 2008

Jago Kandang dan Jago di Luar kandang



(Mazmur 121)
Pendahuluan:
Saya tinggal di Desa Cimareme. Di Desa itu, ada semua desa yang diberi nama, Cikandang. Kenapa mereka diberi nama Cikandang? (tanyakan ini kepada mereka). Mereka diberi nama Desa Cikandang bukan karena banyak kandang di sana, tetapi karena penduduk desa itu hanya berani melawan dan berkelahi di tempat mereka. Ketika mereka di luar desa mereka, mereka kehilangan keberanian mereka.
Bahkan saya pernah mendengar dari mahasiswa sekolah theology yang membuat sindiran dari lagu rohani, yang berbunyi: Allah dahsyat di tempat kudusnya!!!!. Mahasiswa ini berkata seperti ini, lagu ini menyatakan bahwa Allah kita itu adalah Allah yang jago kandang.
Kita seringkali juga mendengar bahwa orang Kristen adalah orang yang jago kandang, karena mereka begitu bergairah di dalam gereja. Namun, ketika mereka berada di luar gereja, mereka tidak berdaya sama sekali. Kegairahan yang nampak di dalam gereja, dalam sekejap mata hilang ketika mereka berada di luar gereja. Bukankah kita seringkali mengalami hal serupa di dalam kehidupan kita ini?
Kalimat pernyataan: Orang Kristen adalah jago kandang dan jago di luar kandang.
Kalimat pertanyaan: kenapa Orang Kristen adalah jago kandang dan jago di luar kandang?

Latar belakang mazmur 121: Mazmur ini adalah mazmur Ziarah. Bangsa Israel yang tinggal di mana saja, pasti akan mengadakan perjalanan naik haji ke Tanah Perjanjian mereka. Mereka menyanyikan mazmur ini ketika mereka hendak pulang kembali ke tempat mereka masing-masing. Selain itu, mereka akan segera kembali melakukan aktivitas mereka seperti biasanya. (mungkin mereka adalah petani, dosen, mahasiswa, pengusaha, dll). Sebelum mereka pulang, mereka ketakutan karena mereka akan melewati padang gurun. Mereka melakukan perjalan ini dengan kendaran sederhana seperti unta atau bahkan mereka berjalan kaki. Cuaca yang panas pada siang hari dan cuaca yang dingin pada malam hari juga merupakan masalah yang harus mereka hadapi. Oleh karena perubahan cuaca yang sangat tinggi itu, mereka mudah merasa haus, lapar dan mudah terjangkit penyakit. Kendala/masalah mereka bukan hanya itu, pada malam hari saat mereka berkemah ada ketakutan akan perampok. Mungkin juga binatang-binatang buas telah siap untuk mengintai dan memangsa mereka. Bukankah kita juga sering mengalami hal yang sama. Ketika kita berada di gereja, kita dapat berloncat-loncat, menari-nari, dan bergojet. Namun saat ibadah selesai, kita seperti menjadi lemah lunglai, karena kita menjadi takut dan gentar untuk melakukan aktivitas kita. Mungkin setelah kita selesai ibadah, kita langsung teringat dengan masalah I.P. kita yang kurang. Kita mengingat masalah di asrama, di rumah, dll. Kita sepertinya tidak berani menjalani hidup ini.

Allah kita adalah bodyguard kita (ayat 1 - 2).
Kita melihat peziarah mencari sumber pertolongan. Peziarah tidak mencari pertolongan dari gunung-gunung itu sendiri, tetapi dia mencari pertolongan dari pencipta gunung-gunung itu. Dia mencari sumber pertolongan, yang tidak lain adalah Allah itu sendiri. Dialah Allah yang memperhatikan umat-Nya dan menjaga mereka dari mara bahaya.
Ilustrasi: saudara pernah melihat film bodyguard from Beijing. Dimana sang bodyguard mencoba menjagai dan melindungi seseorang yang menyewanya. Dia menggunakan segala peralatan yang sangat muktahir/maju. Bodyguard ini rela tidur di depan pintu hanya untuk menjagai orang itu. dia juga rela mencobai makan yang disediakan untuk orang yang dijagainya. Dia juga mencoba berada di antara orang itu dengan semua bahaya mengancamnya.
Mazmur 121 menggambarkan dengan jelas peran Allah seperti bodyguard bagi orang yang percaya kepada-Nya. Mazmur ini juga menunjukkan betapa setianya dia memenuhi peran itu.
Mungkin sekali, kita memasuki tahun ini dengan ketakutan yang luar biasa. Mungkin Kita takut ketika kita menerima I.P. kita menjadi takut ketika
Dia adalah Allah yang tinggal dekat dengan kita dalam setiap langkah perjalanan kita (3-5).

Mazmur ini menggambarkan bahwa Allah tidak hanya menjaga kita dari jauh, seperti seorang polisi yang akan datang ketika kita menelopennya. Dia berdiri dekat pada setiap saat, dia siap untuk memberikan tangannya untuk menolong kita. Orang-orang seringkali berpikir bahwa Dia hanya Allah berada jauh atau tinggal jauh dari kita. Allah yang tinggal di luar angkasa jauh dari galaksi kita. Memang hal itu benar, namun Mazmur ini mengajarkan kita juga bahwa Allah yang jauh dari kita juga adalah Allah yang berada di sisi kita.
Dia bukan saja Allah yang dekat dengan kita, Mazmur ini juga menggambarkan Allah seperti seorang penjaga malam yang tidak pernah meninggal tempat jaganya, tidak pernah istirahat, penjaga yang tidak lalai menjalankan semua tugas-tugasnya.
Bayangkan pengalaman Bangsa Israel yang tengah berkemah di padang gurun pada malam hari. Mungkin mereka akan bertemu dengan binatang buas. Mungkin mereka juga akan bertemu dengan kelompok perampok. Siapa yang akan menolong mereka? Peziarah ini menyatakan bahwa Allahlah yang dekat dengan mereka adalah Allah yang selalu memperhatikan mereka dan melindungi mereka dari mara bahaya yang telah menanti mereka.
Ayat 6 juga menekan tindakan pemeliharaannya kepada umat-Nya. orang yang melakukan perjalanan di padang gurun pada waktu siang maupun malam akan menghadapi bahaya alam yang dashyat. Kematian karena sinar matahari yang begitu terik adalah bahaya yang paling banyak dijumpai. Mereka juga dapat mengalami kebutaan dan mudah marah karena panasnya sinar matahari. Mereka juga dapat mengalami kematian karena kehausan. Cuaca malam yang begitu dingin juga mendatang ketakutan yang luar biasa, karena dapat mendatangkan kegilaan. Walaupun dalam keadaan terancam yang luar biasa seperti itu, Si Peziarah ini menggambarkan bagaimana sempurnanya pertolongan Tuhan baginya.
Banyak bahaya dalam perjalanan kehidupan di tahun yang baru saja kita mulai. Kita tidak akan dapat melarikan diri dari masalah itu dan kita juga tidak akan membiarkan masalah-masalah itu mengoyahkan kita bahkan menghancurkan kita, karena kita tahu bahwa kita bukanlah tidak dilindungi. Kita mempunyai seorang bodyguard, Allah yang selalu dekat dengan kita, Allah juga siap menjulurkan tangan-Nya untuk menolongnya. Jadi betapapun beratnya perjuangan perjalanan iman kita, jangan takut, karena Dia selalu memperhatikan kita. Kita bukan hanya jago kandang, tetapi juga jago di luar kandang, karena kita punya divine bodyguard.

Dia menyediakan suatu janji: penjaga kita akan memperhatikan kita sampai kepada akhir dari perjalanan hidup kita.
Kita tidak akan takut mengenai permasalahan yang besar, jika kita dapat percaya bahwa Allah bersama kita dan akan melihat kita hingga selesai.
Ilustrasi:
Presiden Amerika Abraham Lincoln mengunjungi sebuah rumah sakit militer. Dia mendekati seorang tentara yang hampir meninggal. Tentara ini tidak mengenali presidentnya. Presidentnya berkata "apa yang dapat saya lakukan untukmu? Tentara ini menjawab "saya akan bersukacita jika kamu mau menuliskan kata-kata saya untuk orangtua saya." Kemudian tentara mendiktekan kata demi kata dan Abraham Lincoln menuliskannya pada sebuah kertas. Setelah itu, tentara ini meminta Abraham Lincoln untuk menanda tangani surat itu, sehingga orangtua saya akan tahu betapa baiknya anda. President menanda tangani surat itu. Setelah tentara melihat surat yang telah ditanda tangani oleh president, dia kaget dan berkata "dia tidak tahu jika saya sedang berhadapan dengan president." Kemudian president ini kembali bertanya, "apa yang dapat saya Bantu lagi?" tentara yang hampir meninggal merasa malu dan berdiam sejenak, kemudian berkata "kematian saya akan lebih mudah jika anda hendak menemani saya dan melihat saya melaluinya. Abraham Lincoln menempati janjinya. Jam sebelas datang, jam dua belas lewat, jam satu terlalui, jam dua datang, dan pada jam tiga petang, prajurit itu meninggal dunia. President dengan gentlenya, menutupkan mata sang prajurit, dan melipatkan tangannya pada jantungnya. Dengan muka yang tertunduk, dia meninggalkan ruangan itu. Dia telah menepati janjinya. Dia telah tinggal di sisi tentara itu. Dia juga telah melihatnya melalui saat terakhir.
Allah kita adalah Bodyguard ilahi yang tinggal dekat dengan peziarah-peziarah iman dan tidak pernah tertidur, yang menjaga kita dari setiap bahaya. Allah inilah yang telah memberikan kata-kata-Nya bahwa Dia akan melihat kita hingga akhir perjalanan hidup kita. Dia akan bersama dengan kita ketika malam datang dan ketika kita berjalan di dalam kegelapan malam. Dia akan berada di sana untuk bertemu dengan kita ketika sinar pagi tidak terbit.
Jadi orang Kristen bukan hanya jago kandang, tetapi juga jago luar kandang.